Hikayat Banjar sebagai salah satu sumber yang banyak dipakai dalam
mempelajari sejarah Banjar, memerlukan seleksi hati-hati karena selain
terdapat unsur-unsur legindaris juga ia merupakan dokumen kerajaan yang
ditulis atas perintah raja yang tidak bisa dilepaskan dengan politik
raja yang berkuasa. Tidak ada disebutkannya tahun-tahun peritiwa atau
masa pemerintahan raja-raja di Kerajaan Banjar dalam Hikayat tersebut,
menyebabkan penulis-penulis sejarah tentang Banjar masih terdapat
perbedaan tentang masa-masa pemerintahan raja-raja tersebut.
Sehubungan
dengan hal itulah kesempatan untuk menyampaikan prasaran saat ini
dimaksudkan juga untuk mendapatkan data-data baru tentang daerah ini
yang mungkin dimiliki daerah-daerah lain, terutama daerah yang ada
disebut-sebut dalam Hikayat Banjar pada masa-masa yang lalu.
Selanjutnya
dalam makalah ini saya akan mengemukakan proses lahirnya Kerajaan
Banjarmasin, yang dapat dkatakan sebagai langkah pertama dimulainya
penyebaran Islam di Kalimantan Selatan. Di samping itu akan dikemukakan
pula perihal masuknya Islam dan perkembangannya di masyarakat, serta
usaha-usaha penyebaran yang lakukan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
sehingga Islam berakar sampai ke pelosok-pelosok di daerah Kalimantan
Selatan.
Kerajaan
Banjarmasin pada hakekatnya adalah lanjutan dari Kerajaan Negara Daha.
Maharaja Sukarama yang menggantikan Sekar Sungsang raja pertama di
Negara Daha telah mewasiatkan kepada Patih Aria Tarenggana bahwa apabila
ia meninggal maka yang berhak menggantikannya adalah cucunya yang
bernama Raden Samudera.
Sepeninggalnya Maharaja Sukarama di
Negara Daha terjadi kekacauan. Pangeran Mangkubumi salah seorang
putranya berusaha untuk naik tahta. Maka untk keselamatan Raden
Samudera, Patih Aria Terenggana menyuruhnya agar meninggalkan istana.
Karena itu Raden Samudera kemudian harus hidup menyamar sebagai anak
nelayan di daerah orang Serapat, orang Balandian, orang Banjarmasin atau
orang Kuwin.
Pangeran Mangkubumi yang naik tahta menggantikan
Maharaja Sukarama, karena suatu fitnah kemudian dibunuh oleh Pangeran
Tumenggung, adiknya sendiri.
Sementara itu Patih Masih penguasa
bandar di Banjarmasih (Banjarmasin) yang mengetahui perihal nasib Raden
Samudera kemudian mencarinya untuk dirajakan. Selanjutnya terdapat
kesepakatan lima orang Patih, yakni Patih Masih, Patih Muhur, Patih
Balit, Patih Kuwin dan Patih Balitung untuk merajakan Raden Samudera di
daerah Banjar.
Disebutkan
bahwa akhir dari pertentangan antara Raden Samudera dengan Pangeran
Tumenggung tersebut terjadi dalam suatu insiden di atas perahu
telangkasan, di mana Pangeran Tumenggung menyerahkan tahtanya kepada
Raden Samudera, karena tergetar hatinya menyaksikan kemanakannya
merelakan dirinya dan menyatakan dirinya tidak mau melawannya. Peristiwa
tersebut dikuti dengan penyerahan peralatan kerajaan untuk dibawa ke
Banjarmasin. Selanjutnya Raden Samudera menyerahkan daerah Batang
Amandit dan Batang Alai untuk tetap diatur oleh pamannya Pangeran
Tumenggung.
Raden Samudera menetapkan pusat kerajaan itu di
Banjarmasin. Ia kemudian diislamkan oleh seorang Penghulu dari Demak.
Dan oleh seorang Arab ia diberi nama Sultan Suriansyah.
Dari
peristiwa di atas tampak bahwa penggantian raja-raja yang memerintah di
Kerajaan Negara Daha sampai berdirinya Kerajaan Banjarmasin, tidak
merupakan pergantian yang teratur dari ayah kepada anak. Raja-raja yang
memegang tahta di Negara Daha sampai berdirinya Kerajaan Banjarmasin
adalah:
Raden Sekar Sungsang
Maharaja Sukarama
Pangeran Mangkubumi
Pangeran Tumenggung
Raden Samudera (Sultan Suriansyah).
Menurut
Hikayat Banjar bahwa sesudah Majapahit terdapat Kerajaan Demak yang
diperintah oleh Sultan Surya Alam. Hageman menyebutkan bahwa Surya
Alam sama dengan Raden Trenggono. Tetapi Surya Alam dapat pula
diidentikkan dengan nama Alam Akbar gelar Raden Fatah raja Demak
pertama. Sementara itu Hikayat Banjar tidak menyebutkan nama Sultan
Demak yang telah mengirimkan bantuan ke Banjarmasin tersebut.
J.C.
Noorlander berpendapat bahwa umur kuburan Sultan Suriansyah dapat
dihitung sejak kurang lebih tahun 1550. Ini berarti Sultan
Suriansyah meninggal pada sekitar tahun 1550.
Raja-raja Demak
yang masyhur sesudah Raden Fatah, adalah Pati Unus (1518-1521) dan
Sultan Trenggono (1521-1546). Sesudah itu di Demak terjadi
pertentangan-pertentangan dalam memperebutkan mahkota. Kalau Sultan
Suriansyah meninggal pada kurang lebih tahun 1550, maka raja Demak yang
pemerintahannya dekat dengan tahun itu adalah Sultan Trenggono.
Sehubungan
dengan uraian di atas maka permulaan pemerintahan Sultan Suriansyah
dapat dicari pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, dalam tahun
1521-1546. Dr. J. Eisenberger menulis masa pemerintahan Sultan
Suriansyah kurang lebih 25 tahun. Berdasarkan sumber-sumber tersebut
di atas masa pemerintahan Sultan Suriansyah dapat diperkirakan
berlangsung sekitar tahun 1525/1526-1550.
Kerajaan yang dibangun
Sultan Suriansyah dan berpusat di Banjarmasin (Kuin) tersebut oleh
Sultan Banjar ke empat (Sultan Mustainullah) ibu kota kerajaan
dipindahkan ke Martapura. Schrieke menulis bahwa perpindahan ibu kota ke
Martapura itu sejak tahun 1612. Perpindahan tersebut didasari
pertimbangan-pertimbangan bahwa di tempat itu selain tanahnya bertuah,
maka karena tempatnya jauh di pedalaman akan sukar didatangi oleh
orang-orang yang tidak beragama Islam.
Selanjutnya pada masa
pemerintahan pemerintahan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah (1761-1801)
penyebaran Islam mengalami kemajuan pesat. Pada waktu itu di ibu kota
Kerajaan Banjar hidup seorang ulama besar bernama Syekh Muhammad Arsyad
Al Banjari.
Salah seorang Sultan Banjar yang dalam masa
pemerintahannya berusaha menanamkan ajaran Islam kepada rakyatnya adalah
Sultan Adam (1825-1857). Melalui Undang-Undang kerajaan yang terkenal
dengan nama Undang-Undang Sultan Adam, ia menyuruh sekalian rakyatnya
baik laki-laki maupun perempuan agar ber-i’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah
dan melarang ber-i’tiqad ahlal bidaat.
Kerajaan ini akhirnya
diproklamirkan dihapus oleh Belanda pada tanggal 11 Juni 1860 setelah
Sultan Hidayatullah yang sebelumnya bersama Pangeran Antasari
mencetuskan Perang Banjar. Sultan Hidayatullah kemudian diasingkan oleh
Belanda ke Cianjur (Jawa Barat), sedangkan Pangeran Antasari meninggal
pada masa perang karena sakit.
Masuknya Islam ke Kalimantan Selatan
Di
muka telah disebutkan bahwa Sultan Suriansyah diislamkan oeh seorang
Penghulu dari Demak. Peritiwa ini terjadi pada awal abad ke 16, yakni
pada masa awal pemerintahannya. Pengislaman Sultan ini diikuti pula oleh
para Patih dan rakyatnya.
Dalam hikayat Banjar tidak disebutkan
siapa nama Penghulu dari Demak yang mengislamkan/melaksanakan
pengtahbisan Raden Samudera sebagai raja Islam pertama di Kerajaan
Banjar. Drs. Hasan Muarif Ambary dalam prasarannya yang berjudul:
Catatan Tentang Masuk dan Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan,
pada Seminar Sejarah Kalimantan Selatan di Banjarmasin tahun 1976,
mengemukakan ada lima Imam (Penghulu) Demak selama Kerajaan Demak
berdiri, yaitu:
1. Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, dari 1490 sampai 1506/12.
2. Makdum Pembayun dari 1506/12 hingga 1515.
3. Kiayi Pembayun dari 1515 sampai 1521.
4. Penghulu Rahmatullah dari 1521 hingga 1524.
5. Sunan Kudus 1524---
Menurut
beliau jika dilihat masa pemerintahan Raden samudera atau berdirinya
Kerajaan Banjar, maka ketika Imam terakhir itulah salah satu di antara
mereka munkin merupakan tokoh yang hadir untuk mentahbiskan Raden
Samudera.
Sementara itu dalam sejarah Banjar terkenal seoang
Penghulu bernama Khatib Dayyan. Bagi masyarakat Banjar Khatib Dayyan
dikenal sebagai penyebar Islam pertama di Kalimantan Selatan. Ia juga
dikatakan sebagai seorang yang berjasa dalam mengislamkan Raden Samudera
dan rakyatnya. Makamnya terdapat di dalam Kompleks Makam Sultan
Suriansyah.
Dalam Hikayat Banjar disebutkan bahwa Mantri Demak
dan Penghulu Demak tersebut setelah mengislamkan Sultan Suriannyah
mereka kembali ke Demak. Oleh karena itu bukan tidak mungkin bahwa
Khatib Dayyan adalah orang Banjar sendiri yang lebih banyak peranannya
dalam menyebarkan Islam di Kerajaan Banjar sesudah Mantri dan Penghulu
Demak kebali ke negeri mereka.
Di samping itu ada data-data yang
menunjukkan bahwa Islam telah masuk dan dikenal orang Banjar jauh
sebelum peristiwa datangnya Penghulu dari Demak tersebut:
- Pada
abad ke 15 ketika permintaan cengkih bertambah besar, maka tanaman ini
yang dahulunya hanya merupakan hasil hutan kemudian ditanam di
perkebunan-perkebunan. Usaha perkebunan cengkih yang mula-mula terdapat
di Ternate, kemudian seram dan Ambon. Para pedagang Gujarat yang
beragama Islam, kemudian juga dengan para pedagang Cina yang menurut
berita Jing Yai Sheng Lan tahun 1416 sudah banyak yang beragama islam,
dalam perjalanan itu mereka singgah di bandar-bandar kalimantan Selatan
dan Makasar.
- H. Abdul Muis dalam prasarannya yang
berjudul: Masuk dan Tersebarnya Islam di Kalimantan Selatan, pada Pra
Seminar Sejarah Kalimantan Selatan tahun 1973 mengemukakan bahwa Raden
Paku (Sunan Giri) putra Sayid Ishak pada waktu berumur 23 tahun berlayar
ke Pulau Kalimantan di pelabuhan Banjar, membawa barang dagangan dengan
3 buah kapal bersama dengan juragan Kamboja yang terkenal dengan nama
Abu Hurairah (Raden Burereh). Sesampainya di pelabuhan Banjar datanglah
penduduk berduyun-duyun membeli barang dagangannya, kepada pendudk fakir
miskin barang-barang itu diberikannya dengan Cuma-Cuma.
- Seperti telah disebutkkan di muka dalam rangka menghadapi pangeran
Tumenggung, Patih Masih telah menasihatkan kepada Raden Samudera untuk
meminta bantuan kepada Kerajaan Islam Demak. Tindakan Patih Masih
tersebut menunjukkan adanya simpati terhadap orang-orang Islam yang
sedikit banyaknya sebagai seorang penguasa bandar telah mengetahui
perihal kehidupan pedagang-pedagang Islam yang pernah datang ke Bandar
Masih sebelumnya.
Data-data tentang adanya pedagang Gujarat dan
pedagang Cina yang sudah beragama Islam, yang pada sekitar awal abad ke
15 dalam perjalanan mereka singgah di pelabuhan-pelabuhan Kalimantan
Selatan, demikian juga adanya berita tentang pedagang Islam dari Jawa
(Raden Paku) yang pernah singgah dan berdagang dan berdagang di
pelabuhan Banjarmasin, juga adanya anjuran Patih Masih agar Raden
Samudera meminta bantuan kepada Sultan Demak, serta adanya kelompok
pedagang dari luar seperti orang Melayu, orang Cina, orang Bugis, orang
Makasar, orang Jawa, yang menyatakan membantu raden Samudera ketika
timbul perlawanan terhadap Pangeran Tumenggng, semua itu menunjukkan
bahwa agama Islam sudah masuk ke kalimantan Selatan melalui para
pedagang jauh sebelum bantuan dan Penghulu yang dikirimkan Sultan Demak
sampai di Banjarmasin.
Perkembangan Islam di Kalimantan Selatan
Penduduk
asli Pulau Kalimantan disebut orang Dayak. Orang Dayak yang mendiami
Pulau Kalimantan tersebut terdiri atas beberapa suku. Masing-masing suku
mempunyai kepercayaan masing-masing. Tetapi pada dasarnya kepercayaan
mereka itu mempunyai persamaan-persamaan yang banyak. Istilah yang
populer menyebut kepercayaan mereka adalah kepercayaan Kaharingan.
Penduduk
asli tersebut kemudian terdesak ke arah pedalaman. Di pesisir barat
terdesak oleh orang-orang Melayu dan Cina, di selatan terdesak oleh
orang-orang Melayu dan orang-orang Jawa, dan di bagian tenggara terdesak
oleh orang-orang Bugis, Makasar dan Sulu.
Orang Dayak yang mendiami daerah-daerah pedalaman Kalimantan tersebut dapat dibagi atas 7 macam suku, yakni:
1. Suku Dayak Kenya dan Bahau yang mendiami pedalaman Mahakam.
2. Suku Dayak Punan, yang mendiami pedalaman daerah Berau.
3. Suku Dayak Siang, yang mendiami pedalaman Barito Hulu.
4. Suku Dayak Kayan, yang mendiami perbatasan Serawak.
5. Suku Dayak Iban dan Kalemantan, yang mendiami pedalaman Kalbar dan utara.
6.
Suku Dayak Ngaju, yang mendiami pedalaman Kapuas, dengan suku-suku
kecilnya, yakni: a. Dayak Lawangan, yang mendiami pedalaman Barito
Timur.
b. Dayak Manyan, yang mendiami pedalaman Balangan dan Barito Selatan.
7. Suku Dayak Ot Danum, yang mendiami pedalaman Tumbang Siang, Tumbang Miri, Tumbang Lahang dan sekitarnya.
Selanjutnya
sehubungan dengan telah terdesaknya penduduk asli tersebut ke daerah
pedalaman oleh suku-suku pendatang, maka ada beberapa pendapat
mengatakan suku yang kemudian mendiami di daerah-daerah pesisir tersebut
adalah perpaduan dari orang-orang dari suku pendatang. Seorang
sejarawan Banjar Drs. M. Idwar Saleh berpendapat bahwa timbulnya suku
Banjar kemudian yang mendiami daerah Kalimantan Selatn adalah keturunan
yang lahir dari percampuran orang-orang Melayu dan Jawa serta Olo
(orang) Ngaju yang telah bercampur dan kawin-mawin selama beberapa
generasi di daerah tersebut. Percampuran itu ditambah lagi dengan
pendatang-pendatang lain seperti orang-orang Bugis, Cina, India dan
Arab.
Unsur-unsur animisme, dynamisme dan spiritisme atau
daemonisme yakni serba semangat yang terdapat dalam kepercayaan
Kaharingan, merupakan unsur-unsur yang ternyata masih berpengaruh
dalam tradisi dalam kehidupan masyarakat orang Banjar kemudian.
Sementara
itu ada juga data yang menunjukkan adanya hubungan Kerajaan Majapahit
dengan daerah Banjar, yakni terdapatnya nama beberapa tempat di daerah
Kalimantan Selatan dalam daftar daerah-daerah yang menjadi bagian dari
kerajaan Majapahit tersebut. Dalam daftar itu terdapat nama-nama daerah;
seperti: Pasir, Baritu (Barito), Tabalung (Tabalong), dan
lain-lain.
Di samping itu dalam Hikayat Banjar disebutkan
bahwa Pangeran Suryanata yang menjadi suami Putri Junjung Buih, adalah
putra raja Majapahit.
Adanya hubungan antara Majapahit dengan
daerah ini, merupakan petunjuk bahwa agama Syiwa-Budha sampai pula ke
daerah Kalimantan Selatan. Hal ini dikuatkan dengan adanya situs
candi-candi di daerah ini, seperti Candi Agung di Negara Dipa (Amuntai)
dan Candi Laras di Negara Daha (Margasari-Rantau). Ditemukannya lingga
dan arca-arca berupa Nandi dan Batar Guru di situs Candi Laras,
menunjukkan adanya unsur-unsur Syiwa yang pernah berkembang di daerah
ini.
Dengan demikian agama Islam yang masuk ke Kalimantan Selatan
ini, berkemban pada masa permulaannya di kalangan masyarakat yang
sebelumnya telah dipengaruhi oleh unsur-unsur Kaharingan dan
Syiwa-Budha. Agama Islam yang masuk itu kemudian dianut oleh sebagian
besar masyarakat Kalimantan Selatan, yang sebelumnya telah menganut
kepercayaan Kaharingan, agama Syiwa-Budha atau syncritisme dari
agama-agama tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa ajaran-ajaran Islam
yang mula-mula berkembang di daerah Kalimantan Selatan ini, menghadapi
pengaruh dari unsur-unsur kepercayaan tersebut.
Untuk itu dapat diikuti kutipan berikut, yakni kebiasaan lama yang dikenal oleh masyarakat di daerah Banjar:
“Orang
meminta selamat ketika mendirikan rumah, sembuh dari sakit, berlindung
dari bahaya yang ditakuti atau ada hajat yang ingin dikabulkan dan
sebagainya, lalu dibutlah nasi ketan yang ditempa-tempa seperti bentuk
stupa dengan inti di puncaknya, bentuk stupa seperti yang pertama kali
dibangun oleh Asoka, atau bentuk gunung mythologis perlambang pusat
dunia dan keindahan, suatu yang dianggap keramat oleh pemeluk
Hindu-Budha.
Upacara sajenan seperti itu tidak diberantas oleh
penyiar Islam di waktu iti, hanya mantera-mantera yang semula ditujukan
kepda roh gaib dan dewa-dewa diganti dengan do’a dan zikir kepada Allah.
Upacara seperti ini di Kalimantan Selatan dikenal dengan sebutan
“halarat”, demikian juga “batumbang”, “baanjur-anjur dengan 40 macam
juadah”, adalah sesajen zaman pra Islam. Acara “badudus”, “mandi-mandi”,
dan “baayun anak” adalah adat di zaman Hindu yang kemudian dituang
dalam tuangan Islam dengan bacaan shalawat kepada Nabi.”
Kehidupan
Islam yang berkembang di masyarakat Banjar seperti yang digambarkan di
atas menjalani masa yang cukup lama. Orang Banjar pada umumnya
menjunjung tinggi ajaran-ajaran Islam, tetapi dalam melakukan
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan ibadah dan amaliah masih
banyak yang belum dapat melepaskan diri dari tradisi-tradisi kepercayaan
dan agama yang berkembang sebelumnya.
Memasuki abad ke 17
Banjarmasin telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Hal ini terjadi
sehubungan dengan tindakan Kerajaan Mataram yang telah menyerang dan
menghancurkan kota-kota pantai di utara Jawa, sehingga pedagang-pedagang
pindah secara besar-besaran ke Makasar dan Banjarmasin. Dan pada
waktu itu pula terjadi perubahan jalan dagang ke Maluku melalui Makasar,
Kalimantan Selatan, Patani dan Cina, atau dari Makasar dan Banten ke
India.
Pada waktu itu orang Banjar sudah banyak yang melakukan
pelayaran berdagang ke luar daerah. Tradisi berlayar ini memberikan
kemungkinan kepada orang Banjar untuk melakukan ibadah haji ke Mekah
dengan menggunakan kapal-kapal sendiri.
Mereka yang pergi
menunaikan ibadah haji ke Mekah tersebut, biasanya tinggal beberapa
tahun di sana sambil belajar pengetahuan agama. Mereka itu kemudian
pulang dengan membawa pengetahuan dan kitab-kitab dari Mekah. Semakin
banyak orang Banjar yang datang dari Mekah semakin banyak
pandangan-pandangan baru yang masuk ke daerah ini.
Di antara
pandangan-pandangan baru yang masuk tersebut terdapat ajaran Sofi Al
Hallaj, yang pernah diajarkan oleh Abdul Hamid di daerah ini.
Selain itu telah masuk pula faham Syiah bersama para pedagang Arab dari
suku Baalwi ke daerah ini. Sisa-sisa dari faham tersebut masih terdapat
tradisi orang Islam di daerah ini, seperti pemakaian gelar Sayyid,
penghormatan yang khusus terhadap turunan Ali dngan melakukan
acara-acara tertentu, dan lain sebagainya. Di samping hal-hal tersebut
di atas, maka pada waktu orang-orang Banjar telah banyak yang pergi haji
tersebut, masuk juga nilai-nilai baru dalam aliran Ahlussunnah wal
Jama’ah aliran Islam yang telah berkembang sebelumnya.
Tetapi
sampai pada awl abad ke 18 nilai-nilai baru yang masuk bersama
orang-orang yang datang dari Mekah tersebut tidak banyak tampak dalam
masyarakat. Usaha pembaharuan dan penybaran agama Islam yang bersumber
langsung dari Mekah tersebut baru dimulai pada pertengahan abad ke 18,
yakni oleh seorang ulama kelahiran Martapura yang lebih 30 tahun
memperdalam ilmu agama di Mekah dan Madinah, Syekh Muhammad Arsyad Al
Banjari.
Penyebaran Islam oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Muhammad
Arsyad dilahirkan pada tahun1122H atau 1710M di desa Lok Gabang,
Martapura. Pada waktu berumur kurang lebih 8 tahun ia dipungut oleh
Sultan Banjar untuk diasuh dan dididik di istana. Kemudian ia dikawinkan
dan menjelang umur 30 tahun diberangkan belajar memperdalam ilmu agama
Islam di Mekah.
Muhammad Arsyad tiba kembali di Martapura ibu
kota Kerajaan Banjar,
pada bulan Ramadhantahun 1186 H (1772 M). Ia
kembali setelah memperoleh keahlian khusus dalam ilmu Tauhid, Fiqh, ilmu
Falak dan ilmu Tasauf.
Usahanya dalam menyebarkan Islam di
daerah Kerajaan Banjar pada waktu itu dimulai dengan melakukan
pengajian, kemudian menyebarkan anak cucunya (muridnya) yang telah
memperoleh kealiman ke daerah-daerah pedalaman, di samping itu menulis
kitab-kitab agama dalam bahasa Melayu dengan aksara Arab.
Sistem
pengajian yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad mula-mula mengajari 2
orang cucunya yang bernama Muhammad As’ad dan Fatimah, sehingga dalam
waktu yang tidak lama keduanya telah mewarisi kealimannya. Keduanya
kemudian membantu usaha kakeknya. Dalam Syajaratul Arsyadiah disebutkan
bahwa Muhammad As’ad kemudian menjadi guru sekalian murid laki-laki, dan
Fatimah menjadi guru sekalian murid perempuan.
Dalam tulisan
yang berjudul Riwayat Syekh Muhammad Arsyad al Banjari, Zafry Zamzam
(almarhum) mengemukakan bahwa dalam pengajian yang dilakukan oleh Syekh
Muhammad Arsyad bukanlah semata-mata belajar ilmu pengetahuan agama,
tetapi disertai bekerja bersama dan memasuki kehidupan masyarakat
melalui kegiatan bertani.
Sistem pengajian yang dilakukan Syekh
Muhammad Arsyad itu mmerupakan perwujudan dari ajarannya yang
menyeimbangkan antara “hakekat” dan “syari’at”. Sehingga dengan demikian
segala peristiwa dalam kehidupan ini tetap terjadi menurut hukum sebab
akibat.
Bukti besarnya perhatian Syek Muhammad Arsyad dalam usaha
pertanian tersebut adalah telah diwariskannya sebuah saluran air
sepanjang kurang lebih 8 km yang digali atas gagasan dan pimpinan
beliau, untuk mengalirkan air yang menggenangi tanah luas, sehingga
kemudian dapat dijadikan tanah persawahan yang subur. Saluran air itu
sekarang dikenal dengan nama “Sungai Tuan”, artinya sungai yang
penggaliannya digariskan oleh Tuan Guru Haji Besar, yakni gelar dari
Syekh Muhammad Arsyad.
Kegiatan Syekh Muhammad Arsyad
membimbing dan melatih anak didiknya dalam lapangan pertanian tersebut
merupakan tindakan untk memberi bekal anak didiknya agar bisa menyusun
penghidupan kelak. Dipihnya lapangan tersebut dapat dikaitkan karena
murid-muridnya tersebut umumnya berasal dari keluarga tani, dan
kemanapun nantinya mereka hidup dan berkeluarga mereka akan menemui
jenis usaha ini, terutama dalam daerah Kalimantan Selatan sebagai daerah
agraris.
Selanjutnya Syekh Muhammad Arsyad menempuh suatu cara
untuk menyebarluaskan sistem pengajian tersebut, dengan mengharuskan
setiap anak cucu dan muridnya yang sudah mencapai kealiman untuk hidup
berkeluarga dan tinggal menyebar ke daerah-daerah pedalaman Kalimantan.
Di mana mereka tinggal maka di tempat itupun kemudian berlangsung pula
pengajian. Demikianlah kemudian pengajian-pengajian yang diselenggarakan
anak cucu Syekh Muhammad Arsyad tidak hanya terdapat dalam wilayah
Kalimantan Selatan, tetapi juga terdapat di Pontianak Kalimantan Barat,
bahkan ada cucu beliau yang bernama Syekh Haji Abdurrahman Siddiq yang
menyelenggarakan pengajian sambil melakukan pembukaan tanah tanah
pertanian/perkebunan di Sapat-Tambilahan.
Cara penyebaran
Islam denagn menganjurkan anak cucu dan murid-muridnya yang telah
mencapai kealiman untuk tinggal dan kawin-mawin di ddaerah-daerah yang
jauh dari ibu kota Kerajaan Banjar waktu itu dapat dilihat dari:
- Cucu beliau yang bernama Haji Mouhammad As’ad, yang kemudian juga
diangkat sebagai Mufti pertama di Kerajaan banjar, kawin dengan seorang
penduduk desa Balimau di Kandangan.
- Alimul Alamah Haji Abu Talhah bin Haji Muhammad As’ad beristeri dan mengajar di Pagatan.
- Alimul Alamah Haji Abu Hamid bin HAJI Muhammad As’ad beristeri dan mengajar di Pontianak.
- Alimul Alamah Haji Ahmad beristeri dan mengajar di Amuntai, kemudian juga di desa Balimau-Kandangan.
- Alimul Alamah Haji Muhammad Arsyad bin Haji Muhammad As’ad beristeri dan mengajar di desa Muara Sungai Pamintangan-Amuntai.
- Alimul Alamah haji Muhammad Thaib (Haji Sa’duddin) beristeri dan mengajar di desa Hamawang’Kandangan.
Dengan
sistem pengajian dan cara penyebarannya seperti tersebut di atas, maka
di mana bermukim anak cucu turunan Syekh Muhammad Arsyad, di tempat itu
berkembang Ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah menurut Mazhab Imam
Syafi’i. Usaha-usaha yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad bersama anak
cucunya tersebut telah berhasil menanamkan pandangan-pandangan baru
dalam Islam, baik masalah hubungan dengan kepercayaan “lama” mapun dalam
persoalan mazhab.
Selanjutnya seperti disebutkan di muka bahwa
di samping menyelenggarakan pengajian Syekh Muhammad Arsyad dalam
usahanya menyebarkan Islam di daerahnya, ia juga telah menulis beberapa
buah kitab agama dalam bahasa Melayu dengan aksara Arab. Kitab-kitab
karyanya tersebut dapat dibedakan atas 3 kelompok:
Kitab-kitab
Tauhid , yakni yang bertujuan memantapkan keyakinan iman dan aqidah yang
benar. Kitab-kitab itu adalah: a. Usuluddin, b. Tuhfatur Raghibin.
Kitab-kitab
Fiqh, yang membicarakan masalah-masalah ibadah dan amaliah, yakni
tentang segala tindakan manusia baik yang mempunyai hubungan dengan
Tuhan maupun sesama manusia. Kitab-kitab ini adalah: a. Sabilal Muhtadin
lit tafaqquh fi amriddin, b. Kitabun Nikahi, c. kitabul Faraid, d.
Nuqtatul Ajlan, e. Hasyiah Fathil Jawab.
Kitab-kitab Tasauf, untuk
mendapatkan kedamaian bathin dalam berhubungan dengan Tuhan. Kitab-kitab
ini adalah: a. Kanzul Ma’rifah, b. Al Qauulul Mukhtashar.
Di
antara kitab-kitab tersebut ada beberapa yang besar fungsinya dalam
rangka pengembangan dan penyebaran Islam, kitab-kitab tersebut antara
lain:
- Kitab Tuhfatur Raghibin. Ktab ini ditulis pada tahun
1188 H (1774M) 41). Terdiri atas 28 halaman, menggunakan huruf Arab dan
berbahasa Melayu. Dengan demikian dapat dipelajari oleh banyak orang di
daerah ini yang pada umumnya dapat membaca huruf Arab. Isinya
menerangkan hal-hal yang merusak Iman, yang menyebabkan orang menjadi
syirik atau murtad. Dengan demikian melalui kitab ini Syekh
Muhammad Arsyad berusaha menghindarkan/memperbaiki kekeliruan yang
mungkin terjadi pada setiap pemeluk Islam di kalimantan Selatan waktu
itu. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa sampai datangnya
Syekh Muhammad Arsyad di daerah ini agama Islam baru saja menerima
unsur-unsur baru yang yang dibawa orang-orang yang kembali dari Mekah.
Praktik-praktik ibadah dan muamalah masih banyak dipengaruhi oleh
unsur-unsur kepercayaan yang pernah berkembang sebelmnya. Ini merupakan
bagian dari usaha syekh Muhammad Arsyad dalam melakukan pembaharuan dan
pemurnian agama Islam di daerah ini.
- Kitab sabilal Muhtadin.
Lengkapnya adalah Sabilal Muhtadin lit tafaqquh fi amriddin. Kitab ini
ditulis berdasarkan permintaan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah
pada tahun 1193 H (1779 M). 43). Seperti disebutkan di atas bahwa kitab
Sabilal Muhtadin ini adalah sebuah kitab Fiqh, yaitu yang membicarakan
segala hukum agama, baik yang berhubungan dengan kepercayaan ataupun
yang berhubungan dengan muamalat. Kitab-kitab agama yang
digunakan dalam pengajian-pengajian pada waktu itu umumnya menggunakan
kitab-kitab berbahasa Arab yang tadinya dibawa sendiri oleh Syekh
Muhammad Arsyad dari Mekah. Kitab-kitab dalam bahasa Arab tersebut
dikenal dengan istilah Kitab Kuning. Penggunaan kitab-kitab tersebut
dalam pengajian menemui kesulitan karena untuk dapat mengerti isinya
orang lebih dahulu mengerti bahasa Arab. Di samping itu alam
Kalimantan Selatan khususnya dan juga Indonesia pada umumnya mempunai
kehidupan fauna dan flora yang berbeda sekali dengan negeri Arab.
Sehingga dengan kitab-kitab Fiqh dari negeri Arab tersebut, mungkin akan
menimbulkan beda pendapat dalam menetapkan hukum terhadap sesuatu yang
hanya ada ditemukan di daerah atau alam Indonesia ini. Sebenarnya
pda waktu itu sudah ada sebuah Kitab Fiqh Melayu di daerah ini, yakni
Kitab Siratul Mustaqim karangan Nuruddin Ar Raniry, seorang ulama besar
dari Aceh. Kitab tersebut ditulis dalam tahun 1044-1054 H (1634-1644
M).44) Sehubungan dengan hal itu Syekh Muhammad Arsyad menulis dalam
Mukaddimah kitabnya, bahwa: “Lebih dahulu dari kitabnya itu telah ada
sebuah kitab Fiqh atas mazhab Imam Syafi’i bernama Siratul Mustaqim
yang ditulis oleh seorang alim yang lebih, bernama Nuruddin ar Raniry; Akan
tetapi karena sebagian ibaratnya mengandung bahasa Aceh maka sulit bagi
orang yang bukan ahlinya untuk mengambil pengertiannya; Lagi pula
ada bagian dari ibaratnya yang diubah dari pada asalnya dan digantikan
dengan yang lainnya atau gugur atau kurang disebabkan kelalaian
penyalin-penyalinnya yang tidak berpengatahuan, sehingga menjadi rusak
dan berselisih anatara naskah-naskah dan ibaratnya, sehingga hampir
tidak diperoleh lagi naskah-naskah yang saheh dari penulisnya. “Kitab
Sabilal Muhtadin terdiri atas 2 juz. Yang pertama tebalnya 252 halaman,
dan juz kedua 272 halaman. Kedua juz ini merupakan kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Penyebaran Kitab sabilal Muhtadin ini dimulai
dari ruang pengajian Desa Dalam Pagar sendiri, yakni dengan mengadakan
salin menyalin dari naskah aslinya oleh murid-muridnya. Kemudian dibawa
orang ke Mekah, di sana dilakukan salin menyalin pula, bahkan kemudian
dijadikan kitab pelajaran Fiqh bagi orang-orang berbahasa Melayu,
sehingga kitab ini dikenal luas oleh penuntut-penuntut ilmu di Mekah
yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan Asia Tenggara. Mereka
itulah yang akan mengajarkannya pula di daerah atau di negeri mereka
kemudian. Penlisan Kitab sabilal Muhtadin ini selesai pada
tahun 1195 H (1780 M). Pertama kali dicetak pada tahun 1300 H atau 1882 m
setentak di tiga tempat, yakni Mekah, Istambul dan Mesir, dengan
pentasheh Syekh Ahmad bin Muhmmad Zain al Fathany, ulama berasal dari
Fatani (Muang Thay) yang mengajar di Mekah pada waktu itu. Dengan
adanya cetakan ini maka Sabilal Muhtadin lebih tersiar dan terkenal
luas di Asia Tenggara. Bahkan penuntut-penuntut ilmu di Mekah umumnya
lebih dahulu mempelajari Sabilal Muhtadin sebelum dapat membaca kitab
berbahasa Arab.
- Perukunan Besar. Buku ini hasil dari dekti
yang diberikan Syekh Muhammad Arsyad kepada cucunya yang bernama
Ffatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis.
Dalam buku ini yang
tebalnya kurang lebih 100 halaman tercakup pengetahuan pokok yang harus
dimiliki oleh seorang Muslim dan Muslimat. Di dalamnya terdapat
pengetahuan dan cara-cara praktik segala yang menyangkut Rukun Islam dan
Rukun Iman.
Buku ini juga disebut Perukunan Besar, karena Syekh
Muhammad Arsyad disebut juga dengan gelar Haji Besar. Serta karena
adanya tindakan salin menyalin sehingga buku ini tidak hanya tersebar di
Kalimantan, Jawa, Sumatera, tetapi bahkan sampai ke Malaya.
Kitab
Perukunan Besar ini pertama kali dicetak di Singapura pada tahun 1325 H
atau tahun 1907 M, atas usaha dari seorang pedagang dari Negara
(Kandangan), atas nama Haji Abdurrasyid Banjar.
Karena
seperti disebutkan di atas terhadap kitab Perukunan ini terjadi tindakan
salin menyalin, bahkan dilakukan pula penterjemahan ke dalam bahasa
daerah lainnya, maka timbullah kemudian nama-nama Perukunan Sunda,
Perukunan Jawa, Perukunan Melayu, dengan nama pengarang yang
berbeda-beda.
Demikianlah dari sejumlah karya-karya Syekh
Muhammad Arsyad yang tersebar luas itu, kita dapat mengukur sammpai di
mana andil ulama besar ini dalam mengembangkan dan menyebarkan ajaran
Islam tersebut.
Ulama besar ini meninggal pada tahun 1227 H (1812
M) dan dimakamkan di Desa Kelampayan (Martapura), dengan meninggalkan
barisan ulama sebagai suatu kelompok sosial yang mempunyai kedudukan
khusus dalam masyarakat Banjar yang mempunyai perasaan keagamaan yang
kuat.
Sumber