Kiai Demang Lehman adalah salah seorang panglima perang dalam Perang
Banjar. Gelar Kiai Demang merupakan gelar untuk pejabat yang memegang
sebuah lalawangan (distrik) di Kesultanan Banjar. Demang Lehman semula
merupakan seorang panakawan (ajudan) dari Pangeran Hidayatullah sejak
tahun 1857. Demang Lehman lahir di Martapura pada tahun sekitar 1837,
mula-mula bernama Idis. Oleh karena kesetiaan dan kecakapannya dan
besarnya jasa sebagai panakawan dari Pangeran Hidayatullah, dia
diangkat menjadi Kiai sebagai Kepala Distrik Riam Kanan.
Pada awal tahun 1859 Nyai Ratu Komala Sari, permaisuri almarhum
Sultan Adam, telah menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayat, bahwa
kesultanan Banjar diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat
Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk
menyusun kekuatan dan memberi bantuan kepada Tumenggung Jalil Kiai
Adipati Anom Dinding Raja berupa 20 pucuk senapan. Sementara itu
Pangeran Antasari dan Demang Lehman mendapat tugas yang lebih berat
yaitu mengerahkan kekuatan dengan menghubungi Tumenggung Surapati dan
Pembakal Sulil di daerah Barito, Kiai Langlang dan Haji Buyasin di
daerah Tanah Laut.
Bulan April 1859
Pada awal Perang Banjar yaitu sekitar akhir bulan April 1859 Demang
Lehman memimpin kekuatan dan penggempuran di sekitar Martapura
(kabupaten Banjar) dan Tanah Laut, bersama-sama Kiai Langlang dan
Penghulu Haji Buyasin. Selanjutnya Demang Lehman diperintahkan
mempertahankan kota Martapura, karena pusat pemerintahan Kerajaan oleh
Pangeran Hidayat dipindahkan ke kota Karang Intan. Bersama-sama Pangeran
Antasari, Demang Lehman menempatkan pasukan di sekitar Masjid Martapura
dengan kekuatan 500 orang dan sekitar 300 orang di sekitar Keraton Bumi
Selamat.
Benteng Munggu Dayor
Pada akhir tahun 1859 pasukan rakyat yang dipimpin oleh Demang Lehman,
Pangeran Antasari, Tumenggung Antaluddin, Pambakal Ali Akbar berkumpul
di benteng Munggu Thayor. Demang Lehman terlibat dalam pertempuran
sengit di sekitar Munggu Thayor. Belanda menilai tentang Demang Lehman
sebagai musuh yang paling ditakuti dan paling berbahaya dan menggerakkan
kekuatan rakyat sebagai tangan kanan dari Pangeran Hidayat. Demang
Lehman menyerbu Martapura dan melakukan pembunuhan terhadap pimpinan
militer Belanda di kota Martapura.
Serbuan terhadap Belanda di Keraton Bumi Selamat 30 Agustus 1859
Pada tanggal 30 Agustus 1859 Demang Lehman berangkat menuju Keraton Bumi
Selamat dengan 3000 kekuatan dan secara tiba-tiba mengejutkan Belanda
karena melakukan serangan secara tiba-tiba, menyebabkan Belanda
kebingungan menghadapinya, hingga hampir menewaskan Letnan Kolonel Boon
Ostade. Dalam serangan tiba-tiba ini Demang Lehman menunggang kuda
dengan gagah berani mengejar Letnan Kolonel Boon Ostade. Serbuan ke
Keraton Bumi Selamat ini gagal karena berhadapan dengan pasukan Belanda
yang sedang berkumpul melakukan inspeksi senjata. Pertempuran sengit
terjadi, sehingga anggota Demang Lehman kehilangan 10 orang yang menjadi
korban, begitu pula pihak Belanda berpuluh-puluh yang jatuh korban.
Pertempuran di Benteng Tabanio
Sementara itu kapal perang Bone dikirim Belanda ke Tanah Laut untuk
merebut kembali benteng Tabanio yang telah dikuasai Demang Lehman dalam
sebuah pertempuran yang mengerikan Belanda. Ketika pasukan Letnan Laut
Cronental menyerbu benteng Tabanio, 9 orang serdadu Belanda tewas, dan
terpaksa pasukan Belanda sisanya mengundurkan diri dengan menderita
kekalahan. Serangan kedua oleh Belanda dilakukan, tetapi benteng itu
dipertahankan dengan gagah berani oleh Demang Lehman, Kiai Langlang, dan
Penghulu Haji Buyasin. Karena serangan serdadu Belanda didukung oleh
angkatan laut yang menembakkan meriam dari kapal perang, sedangkan
pasukan darat menyerbu benteng Tabanio, Demang Lehman berserta
pasukannya lolos dengan tidak meninggalkan korban. Belanda menilai bahwa
kemenangan terhadap benteng Tabanio ini tidak ada artinya, kalau
diperhitungkan dengan jumlah sarana yang dikerahkan 15 buah meriam, dan
sejumlah senjata yang mengkilap, ternyata tidak berhasil melumpuhkan
kekuatan Demang Lehman.
Pertempuran di Benteng Gunung Lawak 27 September 1859
Selanjutnya Demang Lehman memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan
Gunung Lawak di Tanah Laut. Benteng itu terletak di atas bukit, di
setiap sudut benteng dipersenjatai dengan meriam. Pertempuran
memperebutkan benteng ini terjadi pada tanggal 27 September 1859. Dalam
pertempuran yang sengit dan pasukan Demang Lehman mempertahankan benteng
Gunung Lawak dengan gagah berani, akhirnya mengorbankan lebih dari 100
gugur dalam pertempuran ini. Belanda sangat bangga dengan kemenangannya
ini sehingga dilukiskannya sebagai salah satu pertempuran yang indah di
tahun 1859. Kekalahan ini tidak melemahkan semangat pasukan Demang
Lehman, sebab mereka yakin bahwa berperang melawan Belanda adalah perang
sabil, dan mati dalam perang adalah mati syahid. Bahkan pasukan Kolonel
Andresen banyak korban dalam perjalanan naik perahu ketika menuju ke
Banjarmasin, bahkan Kolonel Andresen sendiri hampir tewas dalam serangan
mendadak ini.
Mendatangkan senjata
Pangeran Antasari dan Demang Lehman mencoba mendatangkan senjata
dengan cara mengirim utusan ke Kesultanan Kutai, Pasir dan Pagatan.
Tetapi rupanya sudah diketahui oleh Belanda, sehingga Belanda menekan
semua raja-raja yang membantu Pangeran Antasari dan Demang Lehman.
Meskipun demikian Demang Lehman memperoleh sebanyak 142 pucuk senapan
dan beberapa buah meriam kecil (lila), tetapi sayang ketika senjata ini
dalam perjalanan diangkut dengan perahu dirampas oleh Belanda di tengah
laut.
Tiga lokasi pertempuran
Pada akhir tahun 1859 medan pertempuran terpencar dalam 3 lokasi, yaitu
di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan Tanah Laut dan di sepanjang
Sungai Barito. Medan pertempuran di sekitar Banua Lima dibawah pimpinan
Tumenggung Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja, medan yang kedua
dibawah pimpinan Demang Lehman, sedangkan medan ketiga dibawah pimpinan
Pangeran Antasari.
Pertemuan Para Pejuang di Kandangan
Pada bulan September 1859 Demang Lehman, bersama pimpinan lainnya
seperti Pangeran Muhammad Aminullah, Tumenggung Jalil berangkat menuju
Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) untuk merundingkan bentuk
perlawanan terhadap Belanda dan sikap serta siasat yang ditempuh
selanjutnya. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh pejuang dari segala
pelosok. Dari pertemuan itu menghasilkan kesepakatan, bahwa
pimpinan-pimpinan perang menolak tawaran Belanda untuk berunding.
Pertemuan menghasilkan pula bentuk perlawanan yang terarah dan meluas
dengan cara : 31 M
1. Pemusatan kekuatan di daerah Amuntai.
2. Membuat dan memperkuat pertahanan di daerah Tanah Laut, Martapura, Rantau dan Kandangan.
3. Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di wilayah Dusun Atas.
4. Mengusahakan tambahan senjata.
Suatu sikap yang keras telah diambil bahwa para pejuang tersebut
bersumpah mengusir penjajah Belanda dari bumi Banjar. Mereka akan
berjuang tanpa kompromi Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing, berjuang
sampai titik darah yang penghabisan.
Belanda Mendirikan Benteng
Untuk melumpuhkan perjuangan rakyat Belanda mendirikan benteng-benteng.
Di daerah Tapin, diperkuat Belanda benteng Munggu Dayor yang telah
direbutnya dari pasukan Demang Lehman. Di daerah Kandangan (kabupaten
Hulu Sungai Selatan), didirikan pula benteng dikenal sebagai benteng
Amawang. Demang Lehman dan pasukannya merencanakan untuk menyerang
benteng Belanda di Amawang ini. Demang Lehman berhasil menyelundupkan
dua orang kepercayaannya ke dalam benteng sebagai pekerja Belanda.
Informasi dari kedua pekerja ini Demang Lehman bertekad akan menyerbu
benteng Belanda tersebut. Pihak Belanda memperoleh informasi bahwa
rakyat telah berkumpul di Sungai Paring hendak menyerbu benteng Amawang.
Dengan dasar informasi ini, pasukan Belanda dibawah pimpinan Munters
membawa 60 orang serdadu dan sebuah meriam menuju Sungai Paring. Saat
pasukan tersebut keluar dan diperkirakan sudah mencapai Sungai Paring,
Demang Lehman menyerbu benteng Amawang pada sekitar jam 02.00 siang hari
tanggal 31 Maret 1860, dengan 300 orang pasukannya Demang Lehman menyerbu benteng tersebut.
Ketika pasukan Demang Lehman menyerbu, kedua orang kepercayaan yang
menjadi buruh dalam benteng tersebut mengamuk dan menjadikan serdadu
Belanda menjadi kacau dibuatnya. Kedua orang yang mengamuk tersebut
tewas dalam benteng dan sementara itu pertempuran sengit terjadi.
Pasukan Munters ternyata kembali ke benteng sebelum sampai di Sungai
Paring. Datangnya bantuan kekuatan ini, menyebabkan Demang Lahman dan
pasukannya mundur. Demang Lehman mundur di sekitar Sungai Kupang dan
Tabihi bersama Pangeran Muhammad Aminullah dan Tuan Said. Pasukan
Belanda menyusul ke Tabihi dan terjadi pertempuran. dalam pertempuran
itu komandan pasukan Belanda Van Dam van Isselt tewas dan beberapa orang
serdadu menjadi korban keganasan perang. Demang Lehman meneruskan ke
daerah Barabai membantu pertahanan Pangeran Hidayatullah dan
pengiringnya. G.M. Verspyck berusaha keras untuk menghancurkan kekuatan
Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman yang berkedudukan di sekitar
Barabai. G.M. Verspyck mengerahkan serdadu dari infantri batalyon ke 7,
batalyon ke 9 dan batalyon ke 13. Batalyon ke 13 berjumlah 210 orang
serdadu dibawah pimpinan Kapten Bode dan Rhode. Pasukan ini diikutkan
pula 100 orang perantaian yang bertugas membawa perlengkapan perang dan
makanan.
Pengepungan terhadap kedudukan Pangeran Hidayatullah ini disertai
pula kapal-kapal perang Suriname, Bone, Bennet dan beberapa kapal kecil.
Kapal-kapal perang ini pada tanggal 18 April 1850 telah memasuki Sungai
Ilir Pamangkih. Karena banyak rintangan yang dibuat, maka kapal-kapal
perang tidak dapat memasukinya, serdadu Belanda terpaksa menggunakan
perahu-perahu. Iringan perahu ini mendapat serangan dari kelompok Haji
Sarodin yang menggunakan lila dan senapan lantakan. Dalam pertempuran
ini Haji Sarodin tewas, tetapi dia berhasil menewaskan beberapa serdadu
Belanda. Pertempuran terjadi pula di Walangku dan Kasarangan dan Pantai
Hambawang. Dengan teriakan Allahu Akbar, rakyat menyerbu serdadu Belanda
yang bersenjata lengkap. Mereka tidak takut mati, karena mereka yakin
mati dalam perang melawan Belanda adalah mati syahid.
Demang Lehman dan Pangeran Hidayatullah berusaha keras dan penuh
keberanian menahan serangan serdadu Belanda. Tetapi karena jumlah
personil Belanda lebih besar dan perlengkapan perang lebih unggul, maka
diambil suatu siasat mundur. Pangeran Hidayatullah mengundurkan diri ke
Aluwan, sedangkan Demang Lehman bertahan di kampung Pajukungan. Akhirnya
Belanda berhasil menduduki Barabai setelah meninggalkan banyak korban.
Belanda berusaha keras untuk memutuskan hubungan Pangeran Hidayat yang
berada di Aluwan dengan pasukan Demang Lehman yang berada di sekitar
Amawang. Usaha Belanda untuk melemahkan kekuatan rakyat ternyata tidak
berhasil, karena rakyat menggunakan taktik gerilya dalam serangannya.
Belanda berusaha memikat Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman
dengan segala cara agar menghentikan perlawanannya terhadap Belanda.
Belanda kemudian menempuh jalan untuk menangkap kedua tokoh pejuang itu
hidup atau mati, dan mengeluarkan pengumuman kepada seluruh rakyat agar
dapat membantu Belanda menangkap kedua tokoh itu dengan imbalan yang
menggiurkan. Imbalan yang dijanjikan adalah dengan mengeluarkan
pengumuman harga kepala terhadap tokoh pejuang yang melawan Belanda.
Harga kepala Pangeran Hidayatullah adalah sebesar f 10.000,- dan Demang
Lehman sebesar f 2.000,- Nilai uang sebesar itu dapat memikat hati
setiap orang yang menginginkan kekayaan. Bagi pejuang yang memegang
sumpah Haram manyarah, waja sampai kaputing, tidak tergoyah hatinya
mendengar janji-janji seperti itu, kecuali bagi mereka yang mengingkari
sumpah, menghianati perjuangan bangsa dan yang lemah imannya terhadap
prinsip perang sabil.
Haji Isa
Meskipun segala usaha telah gagal, Belanda tetap berusaha untuk
menangkapnya dengan cara apapun. Pemerintah Belanda mengutus Haji Isa
seorang yang dekat dengan dan tahu Pangeran ini berada. Tugas Haji Isa
adalah menyampaikan keinginan pemerintah Belanda terhadap Pangeran ini.
Haji Isa tidak berhasil menemukan Pangeran Hidayat, tetapi dia bertemu
dengan Demang Lehman. Ketika Haji Isa menyampaikan tugas misinya
terhadap Demang Lehman. Demang Lehman langsung menjawab menolak segala
macam perundingan dan akan terus berjuang sampai akhirnya memperoleh
kemenangan. Laporan Haji Isa ini menimbulkan semangat Belanda untuk
mengatur siasat baru. Mayor Koch Asisten Residen di Martapura mengatur
dan mengadakan hubungan dengan Demang Lehman atas perintah Residen G.M.
Verspyck.
Pertemuan dengan Demang Lehman menghasilkan kesepakatan bahwa Demang
Lehman bersedia menemui Pangeran Hidayat asal Belanda berjanji
mendudukkan Pangeran Hidayat sebagai Raja di Martapura. Demang Lehman
selalu merasa curiga dengan keinginan Belanda untuk mendudukkan Pangeran
Hidayat sebagai raja di Martapura, karena itu Demang Lehman
mengkonsolidasi pasukannya. Setelah terjadi hubungan surat menyurat
antara Demang Lehman dengan Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang,
Demang Lehman bersedia turun ke Martapura. Pada tanggal 2 Oktober 1861
Demang Lehman turun ke Martapura bersama tokoh-tokoh pejuang disertai
250 orang pasukannya. Anggota pasukannya ini akan menyusup ke seluruh
pelosok Martapura dan akan mengamuk kalau Belanda menipu dan menangkap
Demang Lehman. Tokoh-tokoh pejuang yang mengiringi Demang Lehman adalah :
Kiai Darma Wijaya, Kiai Raksa Pati, Kiai Mas Cokro Yudo, Kiai Puspa
Yuda Negara, Gusti Pelanduk, Pembekal Awang, Kiai Jaya Surya, Kiai Setro
Wijaya, Kiai Muda Kencana, Kiai Surung Rana, Pembekal Noto, Pembekal
Unus, Tumenggung Gamar dan lain-lain.
6 Oktober 1861
Tanggal 6 Oktober 1861 Demang Lehman memasuki kota Martapura disertai 15
orang pemimpin lainnya. Haji Isa menyambut rombongan ini dan langsung
ke rumah Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam pertemuan empat
mata dengan Demang Lehman, Residen berusaha memikat Demang Lehman dengan
janji akan memberikan jaminan hidup setiap bulan kepadanya asal Demang
Lehman berjanji menentap di Martapura, di Banjarmasin atau Pelaihari dan
mengajak kepada seluruh rakyat kembali ke kampung mereka masing-masing
dan bekerjsama seperti semula. Janji Residen itu tidak menarik
perhatiannya, tetapi kesetiannya kepada perjuangan dan sumpah perjuangan
lebih tinggi nilainya dari pada kepentingan diri sendiri. Disamping itu
Demang Lehman tegas mengatakan bahwa mereka akan berjuang terus sampai
Pangeran Hidayat dapat duduk kembali di Martapura memangku Kerajaan
Banjar. Semboyan mereka huruf “Mim” (huruf Arab mim) yang berarti
Martapura atau mati karenanya. Hasil pertemuan dengan Residen memaksa
Demang Lehman mencari tempat persembunyian Pangeran Hidayat dan akan
merundingkannya dengan lebih teliti dan segala akibatnya nanti.
9 Oktober 1861
Tanggal 9 Oktober 1861 Demang Lehman berangkat ke Karang Intan dan
kepergiannya ini memakan waktu hampir sebulan. Kepergian Demang Lehman
ini mengkhawatirkan Belanda dan meminta agar Demang Lehman kembali ke
Martapura. Tanggal 30 Desember 1861 Residen G.M. Verspyck tiba di
Martapura dan perundingan dengan Demang Lehman dilangsungkan. Residen
berjanji bahwa Pangeran Hidayat boleh tinggal dengan keluarganya di
Martapura selama perundingan berlangsung dan jikalau perundingan gagal
Pangeran Hidayat boleh kembali ke pusat pertahanannya dalam tempo
sepuluh hari dengan aman. Tanggal 3 Januari 1862 Demang Lehman kembali
berangkat mencari Pangeran Hidayat menuju Muara Pahu di daerah antara
Riam Kanan dan Riam Kiwa. Pada tanggal 14 Januari 1862 Demang Lehman
bertemu dengan Pangeran Hidayat di Muara Pahu. Demang Lehman
menyampaikan surat Residen dan surat Regent Martapura Pangeran Jaya
Pamenang. Dalam perjanjian itu Ratu Siti ibu Pangeran Hidayat dijemput
dari tempatnya di Paauw Sungai Pinang, begitu pula keluarga Pangeran
Hidayatullah yang masih menetap di Tamunih.
Perundingan 30 Januari 1862
Pada 22 Januari 1862, rombongan Pangeran Hidayatullah berangkat dari
Muara Pahu dengan rakit dan perahu, melewati Mangapan dan 3 hari
kemudian sampai di Awang Bangkal dan baru tanggal 28 Januari 1862 tiba
di Martapura. Rombongan ini disambut rakyat dengan suka hati di
Martapura. Rombongan langsung menuju tempat Regent Martapura Pangeran
Jaya Pemenang yang masih hubungan paman dari Pangeran Hidayat.
Perundingan dilangsungkan pada tanggal 30 Januari 1862, dimulai pada jam
10.30 pagi. Pihak Belanda terdiri dari :
1. Letkol Residen G.M. Verspyck
2. Mayor C.F. Koch, Assisten Residen di Martapura
3. Lettu J.J.W.E. Verstege, Controleur afdeeling Kuin
4. Lettu A.H. Schadevan, ajudan Koch
5. Pangeran Jaya Pemanang, Regent Martapura
6. Kiai Jamidin, Kepala Distrik Martapura
7. Kiai Patih Jamidin, Kepala Distrik Riam Kanan
8. Haji Isa
9. Tumenggung Jaya Leksana
Pihak Pangeran Hidayatullah terdiri dari 23 orang diantaranya adalah :
1. Pangeran Hidayatullah
2. Kiai Demang Lehman
3. Pangeran Sasra Kasuma, anak Pangeran Hidayat
4. Pangeran Sahel, anak Pangeran Hidayat
5. Pangeran Abdul Rahman, anak.
6. Pangeran Kasuma Indra, menantu
7. Gusti Ali Basah, menantu
8. Raden Jaya Kasuma, ipar
9. Gusti Muhammad Tarip
Surat Pemberitahuan Pangeran Hidayat 31 Januari 1862
Dalam perundingan itu Belanda mengatur siasat yang licik berpura berbaik
hati dengan tujuan untuk menangkap dan mengasingkan Pangeran Hidayat
keluar dari Bumi Selamat (Martapura).
Tujuan menghalalkan cara itulah yang dilakukan Belanda. Dalam situasi
yang terjepit dan kondisi yang tidak memungkinkan Pangeran Hidayat
terpaksa menandatangani Surat Pemberitahuan yang ditujukan kepada rakyat
Banjar, yang sudah disiapkan Belanda sebelumnya.
Surat Pemberitahuan itu ditandatangani Pangeran Hidayat dengan cap
Pangeran tertanggal 31 Januari 1862. Surat Pemberitahuan itu
selengkapnya berbunyi :
-
Surat ini tidak berisikan perintah, karena saya telah meletakkan dengan sukarela hak itu. (hak sebagai Mangkubumi).
-
Karena mendengarkan nasihat yang salah, saudara-saudara memberontak
terhadap pemerintah Belanda, saudara menempuh jalan yang salah.
-
Saudara telah melihat bahwa Pemerintah Belanda lebih kuat dari kita,
bahwa ia tidak hanya mementingkan kemakmuran rakyat yang baik, tapi juga
bersikap lembut dan satria terhadap musuh-musuhnya.
-
Kepada rakyat Banjar saya mohon supaya menghentikan segala
permusuhan, saudara-saudara yang masih melawan kembalilah ke rumah
saudara-saudara dan carilah mata pencaharian yang damai dan jujur,
sehingga drama pembunuhan dan permusuhan dapat dihentikan.
-
Letakkan senjata saudara, mohonkan ampun dengan sungguh-sungguh dan
saya yakin bahwa Pemerintah Belanda akan memberinya dengan jiwa besar.
-
Jangan sekali-kali mendengarkan perintah pemimpin-pemimpin yang terus
berkeras meneruskan peperangan, baik perintah dari Pangeran Antasari,
Pangeran Aminullah dan orang jahat lainnya.
-
Saya mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak mengerti kepentingan
saudara-saudara, dan kepentingan mereka sendiri dan saudara-saudara
untuk keselamatan saudara-saudara sendiri dan demi kecintaan kepada
saya, berkewajiban untuk menangkapi dan menyerahkan pemimpin rakyat yang
jahat itu kepada Gubernurmen.
-
Saya sendiri memberi saudara contoh penyerahan diri itu, saudara-saudara melihat bagaimana yang saya dapatkan.
-
Saya sudah mencoba supaya mereka yang masih melawan mau menyerah.
-
Semakin cepat bekas-bekas perang yang mencelakakan ini dapat
dihilangkan, semakin cepat saudara-saudara mendapatkan pengampunan dari
Allah Yang Maha Tinggi untuk bencana yang selama lebih dua tahun melanda
penduduk Banjar.
-
Allah Yang Maha Tinggi dan arwah-arwah nenek moyang (raja-raja) dan
kuburnya akan mengutuk kalian, terutama pemimpin-pemimpin rakyat yang
masih melawan, apabila permintaan saya yang terakhir ini tidak dipenuhi.
Pangeran Hidayat dibantu Demang Lehamn Batal ke Batavia
Pangeran sangat terperanjat dengan ucapan Residen G.M. Verspyck yang
bertindak sebagai Wakil Tertinggi dari Pemerintah Belanda di daerah
Selatan dan Timur Borneo dan dia berwenang memberi pengampunan dan
melupakan apa yang terjadi pada masa lampau dengan syarat bahwa Pangeran
Hidayat harus berangkas ke Batavia dalam tempo 8 hari. Kepada Pangeran
diperkenankan membawa keluarga yang disukainya dan sebelum berangkat
harus menyebarluaskan Surat Pemberitahuan yang sudah dibubuhi cap dan
tanda tangan Pangeran. Ketika Pangeran mengajukan keberatan atas
kepergian ke pulau Jawa tersebut, Residen menjawab bahwa bagi Pangeran
perlu menikmati istirahat.
Demang Lehman yang merasa tertipu, sangat kecewa terhadap sikap
Belanda untuk memberangkatkan Pangeran Hidayat ke pulau Jawa. Demang
Lehman berusaha mengajak Mufti dan Pangeran Penghulu untuk memohon
kepada Residen agar keputusan pemberangkatan Pangeran Hidayat
dibatalkan. Demang Lehman berusaha untuk menggagalkan keberangkatan ini
dan ketika rombongan Pangeran berangkat pada pagi hari tanggal 3
Februari 1862, Demang Lehman telah siap dengan pasukannya untuk
menggagalkannya. Perahu yang membawa Pangeran dibelokkan ke rakit batang
pohon pada rumah yang dulu pernah dijadikan tempat tinggal Demang
Lehman, dan disambut dengan gegap gempita oleh rakyat. Pangeran terus
dilarikan. Belanda tidak dapat bertindak apa-apa, dan baru setelah
Pangeran dilarikan ke luar kampung Pasayangan, Residen mengerahkan
kekuatannya untuk menangkap Pangeran.
>> Seluruh kampung Pasayangan sampai kampung Kertak Baru
dibakar Belanda. Masjid Martapura yang indah yang dibangun lebih dari
140 tahun yang lalu digempur dan dibakar Belanda. Ini terjadi pada 4
Februari 1862 merupakan saksi kebengisan dan kebrutalan penjajah Belanda
terhadap rakyat Banjar yang tidak berdosa.<<
Penipuan keji 2 Maret 1862
Penipuan itu dimulai dengan ditangkapnya Ratu Siti , Ibunda Sultan
Hidayatullah, kemudian Pihak Belanda menulis surat atas nama Ratu Siti
kepada Sultan, agar mengunjungi beliau sebelum dihukum gantung oleh
Pihak Belanda. Surat tersebut tertera cap Ratu Siti…, padahal semua itu
hanya rekayasa & tipuan tanpa pernah Ratu Siti membuat surat
tersebut. Ketika bertemu dengan Ibunda Ratu Siti ditangkaplah Sultan
Hidayatullah dan diasingkan ke Cianjur. Penangkapannya dilukiskan pihak
belanda :
“ Pada tanggal 3 Maret 1862 diberangkatkan ke Pulau Jawa dengan kapal
perang ‘Sri Baginda Maharaja Bali’ seorang Raja dalam keadaan sial yang
dirasakannya menghujat dalam, menusuk kalbu karena terjerat tipu daya.
Seorang Raja yang pantas dikasihani daripada dibenci dan dibalas dendam,
karena dia telah terperosok menjadi korban fitnah dan kelicikan yang
keji setelah selama tiga tahun menentang kekuasaan kita (Hindia Belanda)
dengan perang yang berkat kewibawaanya berlangsung gigih, tegar dan
dahsyat mengerikan. Dialah Mangkubumi Kesultanan Banjarmasin yang oleh
rakyat dalam keadaan huru-hara dinobatkan menjadi Raja Kesultanan yang
sekarang telah dihapuskan (oleh kerajaan Hindia Belanda), bahkan dia
sendiri dinyatakan sebagai seorang buronan dengan harga f 10.000,-
diatas kepalanya.
Hanya karena keberanian, keuletan angkatan darat dan laut (Hindia Belanda) dia berhasil dipojokan dan terpaksa tunduk.
Itulah dia yang namanya :
Pangeran Hidajat Oellah
Anak resmi Sultan muda Abdul Rachman dst, dst, dst….. “.
( Buku Expedities tegen de versteking van Pangeran Antasarie, gelegen
aan de Montallatrivier. Karya J.M.C.E. Le Rutte halaman 10).
Baru tanggal 3 Maret 1862 Pangeran Hidayat setelah kembali tertipu
kemudian diangkut dengan kapal Van OS berangkat dari Martapura keesokan
harinya dan terus merapat ke kapal Bali untuk selanjutnya diangkut ke
Batavia. Pangeran Hidayat di buang ke kota Cianjur disertai sejumlah
keluarga besar kerajaan yang terdiri dari : seorang permaisuri Ratu Mas
Bandara, sejumlah anak kandung dari permaisuri, menantu-menantu,
saudara-saudara sebapak, ipar-ipar, ibu Pangeran sendiri,
panakawan-panakawan beserta isteri dan anak buahnya, budak laki-laki dan
perempuan, semua berjumlah 64 orang
Demang Lehman digantung
Demang Lehman yang merasa kecewa dengan tipu muslihat Belanda berusaha
mengatur kekuatan kembali di daerah Gunung Pangkal, Batulicin, Tanah
Bumbu. Dia tidak mengetahui bahwa Belanda sedang mengatur perangkap
terhadapnya. Oleh orang yang menginginkan hadiah dan tanda jasa sehabis
dia melakukan Shalat subuh dan dalam keadaan tidak bersenjata, dia
ditangkap. Kemudian diangkut ke Martapura. Pemerintah Belanda menetapkan
hukuman gantung terhadap pejuang yang tidak kenal kompromi ini. Dia
menjalani hukuman gantung sampai mati di Martapura, sebagai pelaksanaan
keputusan Pengadilan Militer Belanda tanggal 27 Februari 1862.
Pejabat-pejabat militer Belanda yang menyaksikan hukuman gantung ini
merasa kagum dengan ketabahannya menaiki tiang gantungan tanpa mata
ditutup.Urat mukanya tidak berubah menunjukkan ketabahan yang luar
biasa. Tiada ada satu keluarganyapun yang menyaksikannya dan tidak ada
keluarga yang menyambut mayatnya. Setelah selesai digantung dan mati,
kepalanya dipotong oleh Belanda dan dibawa oleh Konservator Rijksmuseum
van Volkenkunde Leiden. Kepala Demang Lehman disimpan di Museum Leiden
di Negeri Belanda, sehingga dimakamkan tanpa kepala.
mayatnya dimakamkan tanpa kepala. Al-Fatihah buat sidin…..