Esok pagi, Nasrudin diperintahkan oleh istrinya untuk menjual unta ke pasar di ujung desa. Sayangnya, rencana baik terendus oleh empat orang penipu. Karena itu, empat penipu itu secepatnya berunding untuk memperdaya Nasrudin, memberi kesan bahwa hewan yang hendak dijualnya itu bukanlah seekor unta, tetapi keledai. Harga unta memang jauh mahal dibanding harga seekor keledai.
Begitulah. Ketika Nasrudin baru mulai berjalan, rumahnya belum terlalu jauh, salah seorang penipu itu sudah menyapa Nasrudin, “Mau dijual berapa keledaimu?” Jelas saja Nasrudin marah karena tak terima untanya dianggap keledai.
Nasrudin lalu berjalan lagi dan bertemu dengan penipu kedua. Dia bertanya seperti penipu pertama, “Mau dijual berapa keledaimu?”. Kali ini, Nasrudin marah bercampur heran, “Bagaimana mungkin ada ada dua orang mengklaim bahwa hewan yang dibawaku itu keledai?” Meski demikian, Nasrudin terus saja tidak melayani orang kedua tadi.
Ia terus mengayunkan langkah melintasi jalan-jalan setapak sehingga bertemu dengan penipu ketiga. Ia bertanya seperti penipu pertama dan kedua. Kali ini keraguan di hati Nasrudun menari-nari, heran bercampur marah, jangan-jangan hewan yang dibawanya itu memang keledai karena sudah tiga orang yang mengatakan unta itu sebagai keledai. Meski demikian, Nasrudin terus melanjutkan perjalanan ke pasar.
Persis di depan gerbang pasar, datanglah penipu keempat dan menawar untanya dengan harga keledai. Akhirnya karena sering ditanya maka iapun menjual untanya dengan harga keledai.
Begitulah. Ketika Nasrudin baru mulai berjalan, rumahnya belum terlalu jauh, salah seorang penipu itu sudah menyapa Nasrudin, “Mau dijual berapa keledaimu?” Jelas saja Nasrudin marah karena tak terima untanya dianggap keledai.
Nasrudin lalu berjalan lagi dan bertemu dengan penipu kedua. Dia bertanya seperti penipu pertama, “Mau dijual berapa keledaimu?”. Kali ini, Nasrudin marah bercampur heran, “Bagaimana mungkin ada ada dua orang mengklaim bahwa hewan yang dibawaku itu keledai?” Meski demikian, Nasrudin terus saja tidak melayani orang kedua tadi.
Persis di depan gerbang pasar, datanglah penipu keempat dan menawar untanya dengan harga keledai. Akhirnya karena sering ditanya maka iapun menjual untanya dengan harga keledai.
Ada beberapa renungan yang bias kita petik dari kisah ini:
Pertama, kesalahan dan kesesatan yang sering diulang-ulang itu lama-lama akan dianggap sebagai kebenaran. Seperti kata Adolf Hitler “Sebuah kebohongan yang disampaikan seribu kali akan menyebabkan masyarakat menjadi yakin bahwa kebohongan itu adalah sebuah kebenaran”.
Pada saat-saat sekarang ini, kita banyak menyaksikan bahwa hal-hal yang dahulunya sangat sakral sekarang tidak lagi menjadi sakral, bahkan cenderung biasa. Sekarang orang bercerai dianggap biasa, melakukan umrah bersama (laki-laki dan perempuan yang bukan mahram) sebelum menikah bukan lagi aneh, dan sebagainya. Kesalahan-kesalahan ini lama-lama akan menjadi kebenaran.
Kedua, cerita ini mengajak kita agar terus istiqamah pada kebenaran yang kita yakini benar. Kita tidak boleh terpengaruh oleh bisikan provokasi. Ukuran kebenaran itu bukan dari banyaknya orang yang melakukannya, tetapi bersumber dari Zat yang paling benar walaupun hanya satu orang yang menjalankannya. Sungguh tidak ada yang paling benar kecuali kebenaran itu sendiri.
Ketiga, kita belajar tentang pentingnya mempertahankan identitas diri di tengah globalisasi, memegang prinsip-prinsip kebenaran apapun resikonya.